Sunday, January 18, 2009

Krisis Ekonomi Buah Ketamakan Kapitalisme

Krisis di pasar keuangan telah menyeret sistem finansial dan ekonomi dunia menuju situasi baru. Situasi yang tak mungkin bisa menariknya kembali ke belakang dan meniscayakan perlunya perubahan dalam sistem keuangan dunia. Sejumlah pemimpin Eropa bahkan telah mengumumkan berita kematian era kapitalisme. Para politisi dan pakar ekonomi yang paling liberalis sekalipun memfatwakan bahwa pemerintah mesti campur tangan mengatasi krisis keuangan.

Presiden Perancis dari kubu sayap kanan, Nicholas Sarkozy, kini tidak hanya getol mengkampanyekan perlunya intervensi pemerintah terhadap dunia perbankan dan lembaga keuangan di dalam negerinya, tapi juga di negara-negara lain. Padahal selama ini, partai-partai sayap kanan selalu menyuarakan konsep pemerintahan minimalis dengan peran yang seminim mungkin di pasar.

Munculnya krisis keuangan di AS dan menjalarnya krisis tersebut ke pasar keuangan global benar-benar mengguncang pondasi sistem ekonomi kapitalisme. Desakan Nicolas Sarkozy dan Uni Eropa untuk mengkaji ulang struktur sistem keuangan dunia sejatinya merupakan sebentuk ikhtiar untuk mencegah tumbangnya perekonomian Barat. Namun sampai kini, puak-puak ekonomi liberal masih terlibat dalam selisih pendapat yang tajam soal cara perubahan sistem keuangan dunia. AS yang sedang didera oleh krisis malah menyambut dingin usulan Uni Eropa tersebut. Presiden AS, George Bush masih optimis paket penyelamatan ekonomi yang digulirkan Washington akan berdampak positif dalam mengontrol krisis keuangan. Pada tahap pertama, pemerintahan Bush mengusulkan anggaran 700 miliar USD untuk menyelematkan bank-bank yang bangkrut atau nyaris gulung tikar kepada Kongres. Setelah ketahuan bahwa suntikan dana tersebut tak cukup untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap pasar uang, Presiden Bush kembali meminta tambahan dana penyelematan sebesar 250 miliar USD.

Sejatinya, penolakan Bush terhadap usulan Eropa yang mendesak peninjauan ulang atas sistem keuangan global berakar dari sikap Gedung Putih yang tidak menerima bahwa masa kedigdayaan ekonomi AS pasca Perang Dunia II telah berakhir. Hal itu sempat dinyatakan secara tersirat oleh Nicolas Sarkozy dan Gordon Brown yang selama ini dikenal begitu dekat dengan Washington. Perdana Menteri Inggris Gordon Brown dalam artikelnya di koran Washington Post mengungkapkan bahwa era kepemimpinan lembaga-lembaga finansial pasca Perang Dunia II sudah kadaluwarsa. Begitu juga dengan Sarkozy, presiden Perancis ini menyatakan aturan dan institusi abad ke-20 tidak bisa lagi menangani problema abad ke-21. Untuk memahami lebih jauh pernyataan dua pemimpin Eropa ini kita mesti merujuk pada situasi dunia pasca Perang Dunia II serta beragam aturan dan lembaga yang dibentuk untuk memperbaiki kondisi pasca perang. Aturan dan lembaga-lembaga internasional itu dibangun berdasarkan pemikiran ekonomi liberal.

Pada tahun 1944 di saat Perang Dunia II masih berkecamuk, para pemimpin dari 44 negara anggota sekutu berkumpul di kota New Hampsire. Pertemuan ini menghasilkan sebuah kesepakatan yang disebut dengan Perjanjian Bretton Wood. Perjanjian ini menjadi landasan dasar sistem finansial dan moneter dunia pasca Perang Dunia II. Dana Moneter Internasional (IMF) sendiri terlahir berkat perjanjian tersebut. Perjanjian Bretton Wood sejatinya merupakan model ekonomi kapitalis bagi negara-negara lain sebagai tandingan dari sistem ekonomi sosialis. Indikator yang digunakan oleh Bank Dunia dan IMF untuk memberikan utang kepada negara-negara dunia, ditetapkan berdasarkan tolak ukur sistem kapitalisme. Tentu saja, negara-negara yang ingin memperoleh utang dari lembaga internasional ini mesti menyesuaikan kebijakan ekonominya sesuai dengan standar ekonomi kapitalis. Hal itulah yang membuat negara-negara lain menjadi begitu bergantung dengan AS dan Barat, baik dari sisi ekonomi maupun politik.

Pasca runtuhnnya Uni Soviet dan berakhirnya Perang Dingin, liberalisme Barat mendapuk dirinya sebagai pemenang perang. Teoritikus AS, Francis Fukuyama bahkan menyebut kemenangan liberalisme sebagai akhir sejarah. Sementaara itu, sebelum runtuhnya Uni Soviet, Imam Khomeini, pendiri Republik Islam Iran dalam suratnya kepada pemimpin terakhir Uni Soviet di masa itu, Mikhail Gorbachev, memprediksikan tentang runtuhnya ideologi sosialisme dan memperingatkan Moskow agar tidak terperosok ke dalam sistem kapitalisme dalam menyelamatkan krisis ekonomi dan politik Uni Soviet. Imam Khomeini dalam suratnya itu memaparkan bahwa sistem kapitalisme pun nantinya akan menemui masalah berat sebagaimana yang menimpa sosialisme dan hanya bentuknya saja yang berbeda. Prediksi Imam Khomeini mengenai tumbangnya blok komunis pun menjadi nyata. Dan kini, tanda-tanda kehancuran sistem kapitalisme liberal pun makin sudah tampak di depan mata.

Krisis finansial di Barat baru-baru ini sepertinya terlihat sebagai imbas dari krisis di pasar properti di AS dan bangkrutnya bank-bank besar di negara ini. Namun dengan terus berlanjutnya krisis tersebut, hal itu menunjukkan bahwa krisis di pasar properti AS sejatinya merupakan dampak dari kerakusan dan ketimpangan yang terjadi dalam ekonomi kapitalis. Ekonomi kapitalis dibangun berdasarkan konsumerisme masif. Sistem tersebut hanya bisa langgeng selama budaya konsumerisme pun bisa berkembang pesat. Dan dewasa ini, AS dikenal sebagai simbol masyarakat konsumeris di dunia Barat. Masyarakat konsumeris akan tumbuh pesat di suatu tempat yang juga menjadi pusat penumpukan modal. Mayoritas masyarakat dunia pun harus hidup dalam kemiskinan dan kelaparan supaya masyarakat AS bisa mengkonsumsi apapun yang mereka inginkan.

Politik imperialis Amerika Serikat di dunia juga berlandaskan pada kepentingan sekelompok orang saja. Dalam sistem kapitalis, masalah profitisme merupakan prioritas utama dan lebih penting dari apapun. Adapun faktor di balik krisis properti di Amerika yang kemudian menjalar ke negara lain adalah ketamakan bank dan lembaga finansial Negeri Paman Sam itu. Ketika pasar properti memasuki pasar bursa, harga properti ikut melonjak dan diikuti dengan pemberian kredit tanpa jaminan yang kuat. Ketika para kreditor tidak mampu membayar cicilan rumah mereka, maka pihak bank pun dilanda krisis dana likuid dan akhirnya terpaksa gulung tikar. Seorang ekonom Amerika dalam hal ini mengatakan, penyebab krisis ini hanya satu yaitu ketamakan dan kerakusan yang sudah terlalu berlebihan.

Negara-negara Eropa memahami masalah ini lebih cepat dari Amerika bahwa sistem kapitalis perlu ditinjau kembali dan berlanjutnya sistem yang ada saat ini akan sangat membahayakan. Resesi ekonomi inilah yang kemudian melatarbelakangi upaya sejumlah negara Barat untuk mengubah program dan kebijakan mereka. Kelompok-kelompok sayap kanan akhirnya ikut terjun ke program-program sosialis, padahal sebelumnya kelompok tersebut menentang paham ini.

No comments:

Post a Comment